Terkadang membaca sebuah kisah yang mengharukan, sanggup membikin ana menitikkan air mata (ana kaga peduli mau dibilang cengeng), terlebih membaca kisah2 para mutiara zaman, bagaimana perjuangan mereka menyebarkan sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, tetapi ini, bukan kisah Ulama salaf, tapi hanya sebuah kisah nyata dalam sebuah rumah tangga, tapi mampu membikin ana menitikkan airmata...
silahkan dibaca sendiri:
"Lihatlah dirimu darinya, dia adalah surga atau nerakamu…" Kubaca berulang-ulang penggalan hadits di atas. Semakin lama kubaca, semakim merinding rasanya hati ini. "…dia adalah surga dan nerakamu." Sumiku, sudahkah aku berbuat baik padamu?
Menjalani peran sebagai seorang istri dan ibu bagi anakku, seringkali menguras habis energi baik lahir maupun batin. Maka tak jarang wajah cemberut yang kuperlihatkan untuk suamiku. Sehingga ia nyeletuk: "Dari tadi kok mamas belum lihat senyummu?" Aduh sulitnya menerapkan hadits di atas. Apalgi gadis kecilku sekarang sudah berusia 2 tahun. Bukan sekali dua kali aku dibuatnya agak kesal. Tapi, jangan-jangan aku sendiri yang tidak bisa ikhlas dan sabar menerima peranku?
Pagi tadi aku bangunagak kesiangan. Itu karena aku tidur lagi habis shalat shubuh, sebab badan masih terasa sangat capek. Tiba-tiba suamiku sudah mengecup keningku kala mataku terbuka sambil berujar: "Sayang usiamu hari ini genap 27 tahun lho, masa masih bangun kesiangan?" Alih-alih memarahiku, dia justru sudah mengerjakan sebagian kewajiban rutinku di pagi hari. Suamiku, kamu selalu mendahuluiku dalam berbuat kebaikan.
Tak dapat kupungkiri, setelah 3 tahun usia pernikahan kami, hari-hari yang kulalui tak selamanya indah. Banyak episode sulit yang harus kulakoni. Kadang, pertengkaran kecil mewarnai perjalanan kami. Tapi, celah manakah yang mampu membuatku tidak berterima kasih padanya?
Aku ingat, suatu ketika aku membuatnya marah. Aku pun menangis tersedu-sedu karena rasa hati yang tak beraturan. Tiba-tiba suamiku manghampiriku dan berkata: "Dik, mamas nggak marah kok. Mamas Cuma pingin lihat kamu nangis. Habis kamu kalau habis nangis tambah cantik sih…" Duhai, perempuan mana yang tidak tersanjung dengan pujian?
Maka ketika aku merasakan ketidakindahan dalam perjalanan ini, aku mencoba melihat, jangan-jangan dia juga merasakan hal yang sama. Atau, ketika aku kecewa dengannya, aku juga harus berpikir realistis bahwa mungkin juga dia merasakan kekecewaan yang sama. Ya, suamiku bukan manusia sempurna, tapi aku juga tak luput dari kekurangan. Tidak selayaknya aku menunda-nunda berbuat baik padanya hanya karena rasa kesal yang ada.
Dulu, sehabis menikah suamiku bilang: "Dik, sehabis shalat tadi mamas berdo’a, jangan sampai memukulmu baik sengaja atau tidak sengaja." Dan sampai sekarang suamiku tidak pernah berbuat kasar padaku sebesar apapun kemarahannya. Paling banter dia mendiamkanku beberapa menit.
Sepertinya, sudah saatnya aku berbenah diri untuk mendapatkan ridhanya. Mungkin aku harus banyak belajar untuk bersikap lebih lembut, tidak banyak menuntut dan apapun yang membuatnya tidak ridha. Juga untuk buah hatiku. Rasanya aku masih harus belajar untuk menjadi ummi yang baik. Bukankah itu salah satu jalan untuk mendapatkan jannah? Jika kuhitung, sudah banyak dia mengeluarkan tenaga untuk meringankan tugas-tugasku. Tak sebanding dengan yang kulakukan untuk meringankan tugas-tugasnya. Hampir setiap hari ia mau membantuku mencuci, menyapu, dan merawat si kecil.
Lantas jika kutanya: "Capek mas?" Dia selalu menjawab dengan senyuman: "Ah, pahalanya banyak kok!" Kalau sudah begitu, kapan aku bisa berterima kasih padamu? Ah, suamiku, kuingin ridhamu…
(ane ambil dari majalah Nikah (sekarang jadi Sakinah) Volume 4 No 3 Tahun 2005)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Mengenai Saya
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar